Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI MAKALE
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2022/PN Mak JUFRI SAMBARA KEPALA KEPOLISIAN DAERAH SULAWESI SELATAN cq. DIREKTUR RESERSE KRIMINAL KHUSUS POLDA SULAWESI SELATAN Minutasi
Tanggal Pendaftaran Senin, 08 Agu. 2022
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2022/PN Mak
Tanggal Surat Senin, 08 Agu. 2022
Nomor Surat 02/M_BS/VIII/2022
Pemohon
NoNama
1JUFRI SAMBARA
Termohon
NoNama
1KEPALA KEPOLISIAN DAERAH SULAWESI SELATAN cq. DIREKTUR RESERSE KRIMINAL KHUSUS POLDA SULAWESI SELATAN
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Objek Praperadilan

  1. Laporan Polisi Nomor:  LP/B/242/III/2022/SPKT/POLDA SULSEL, tanggal 11 maret 2022.

 

  1. Surat Perintah Penyidikan Termohon Nomor: SP-Sidik/27.a/III/2022/Ditreskrimsus, tanggal  14 Maret 2022.

 

  1. Surat Penggilan Nomor : S.Pgl/858/VIII/2022/Ditreskrimsus, tanggal 1 Agustus 2022 sehubungan dengan Penetapan diri Pemohon sebagai tersangka dalam perkara tindak pidana menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah sebagamana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2) Jo Pasal 50 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Pasal 36 angka 19 Jo angka 17 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 oleh Polda Sulawesi-Selatan Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sulawesi-Selatan.

 

Bahwa adapun dasar permohonan praperadilan ini diajukan sebagai berikut:

 

  1. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/PUU-XII/2014 TANGGAL 28 APRIL 2015

Bahwa dengan berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, objek lembaga praperadilan telah diperluas sehingga tidak hanya terbatas pada yang ditentukan dalam Pasal 77 KUHAP yaitu tentang sah ataau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidannya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan, namun termasuk juga penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.

Adapun kutipan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :

Mengadili

Menyatakan :

  1. Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
  1. [dst]

 

  1. [dst]

 

  1. Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;

 

  1. Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;

Dengan demikian Penetapan Tersangka merupakan bagian dari materi Praperadilan.

  1. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan sebagai berikut:
  2. Bahwa pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”

Dengan demikian, Permohonan Praperadilan a quo sangat berdasar dan cukup beralasan untuk diperiksa atau diterima dam diperiksa oleh Pengadilan Negeri Kelas Ib Makale untuk kemudian diputus dengan seadil-adilnya.

 

  1. Pasal 17 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM)

Menyatakan sebagai berikut:

  • setiap orang tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajkan permohonan, pengaduan, dan gugatan baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hokum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.”

 

Adapun alasan-alasan ataupun dasar diajukannya permohonan pemeriksaan praperadilan ini adalah sebagai berikut :

 

  1. Bahwa pada tanggal 02 Agustus 2022, PEMOHON menerima surat panggilan untuk dimintai keterangan sebagai tersangka atas dugaan perkara tindak pidana menggunakan dan/atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam pasal 78 ayat (2) Jo. Pasal 50 ayat (3) huruf (a) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Pasal 36 angka 19 Jo. Angka 17 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 yang terjadi di Kampung Tolimbong, Lembang polopadang, Kec. Kapala Pitu, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan.

 

  1. Bahwa setelah dilakukan serangkaian proses penyelidikan oleh pihak TERMOHON, maka pada tanggal 14 Maret 2022 dikeluarkan Surat perintah penyidikan dengan Nomor: SP-Sidik/27.a/III/2022/Ditreskrimsus, terhadap laporan polisi Direktur wahana lingkungan hidup Indonesia dengan Nomor:: LP/B/242/III/2022/SPKT/POLDA SULSEL, tanggal 11 Maret 2022 terhadap PEMOHON.

 

  1. Bahwa penetapan tersangka oleh TERMOHON terhadap PEMOHON cacat secara yuridis oleh karena terhadap penetapan tersangka tidak berpedoman terhadap KEPUTUSAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR SK. 362/MENLHK/SETJEN/PLA.0/5/2019 tentang PERUBAHAN PERUNTUKAN KAWASAN HUTAN MENJADI BUKAN KAWASAN HUTAN SELUAS ± 91.337 HA (SEMBILAN PULUH SATU RIBU TIGA RATUS TIGA PULUH TUJUH HEKTARE) PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN SELUAS ± 84.032 HA (DELAPAN PULUH EMPAT RIBU TIGA PULUH DUA HEKTARE) DAN PENUNJUKAN BUKAN KAWASAN HUTAN MENJADI KAWASAN HUTAN SELUAS ± 1.838 HA (SERIBU DELAPAN RATUS TIGA PULUH DELAPAN HEKTARE) DI PROVINSI SULAWESI SELATAN. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Mei 2019 dan SK.868/MENLHK/SETJEN/PLA.2/10/2021 TENTANG TIM INVENTARISASI DAN VERIFIKASI PENYELESAIAN PENGUASAAN TANAH DALAM RANGKA PENATAAN KAWASAN HUTAN DI KABUPATEN/KOTA PADA PROVINSI SULAWESI SELATAN.

 

  1. Bahwa Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah terakomodir dengan hadirnya PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO: 35/PUU-X/2021 TENTANG HUTAN ADAT Jo. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NO.7 TAHUN 2021 TENTANG PERENCANAAN HUTAN, PERUBAHAN PERUNTUKAN KAWASAN HUTAN, SERTA PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN Jo. PASAL 24 SAMPAI PASAL 29 PERATURAN PEMERINTAH NO. 23 TAHUN 2021 TENTANG PENYELENGGARAAN KEHUTANAN, sehingga keberadaan masyarakat hukum adat diwilayah area kawasan hutan telah dipayungi dengan payung hukum tersebut agar memberikan keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum untuk tidak diganggu gugat apalagi dibebani pertanggungjawaban pidana seperti yang dialami oleh PEMOHON.

 

  1. Bahwa adapun amar PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO: 35/PUU-X/2021 TENTANG HUTAN ADATadalah sebagai berikut:

 

Mengadili

Menyatakan:

  1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
    1. [dst]

 

  1. Kata negara dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dimaksud menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”;

 

  1. Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

 

  1. Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 186 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

 

  1. [dst]

 

  1. [dst]

 

  1. [dst]

 

  1. [dst]

 

  1. [dst]

 

  1. [dst]

 

  1. [dst]

 

  1. Frasa “dan ayat (2)” dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dimaksud menjadi “Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”;

 

  1. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

 

  1. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;

 

  1. Bahwa Presiden Republik Indonesia Bapak Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor: 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH), dengan pertimbangan menyelesaikan dan memberikan perlindungan hukum atas hak-hak masyarakat dalam kawasan hutan yang menguasai tanah di kawasan hutan, perlu dilakukan kebijakan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan serta untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-lX/2011, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-lX/2011, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2O12, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/PUU-XII/2O14, perlu diatur ketentuan mengenai penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan yang berkaitan dengan penguasaan hutan oleh negara, pengukuhan kawasan hutan, dan hutan adat;

 

  1. Bahwa ketentuan Pasal 8 ayat (1) huruf a Peraturan Presiden Nomor: 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH), berbunyi, “Pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan
    dimanfaatkan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan berupa: (a). “mengeluarkan bidang tanah dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan. Atas dasar ketentuan tersebut serta untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2O12, maka Pemerintah Pusat   mengeluarkan KEPUTUSAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BERDASARKAN SK. 362/MENLHK/SETJEN/PLA.0/5/2019 tentang PERUBAHAN PERUNTUKAN KAWASAN HUTAN MENJADI BUKAN KAWASAN HUTAN SELUAS ± 91.337 HA (SEMBILAN PULUH SATU RIBU TIGA RATUS TIGA PULUH TUJUH HEKTARE) PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN SELUAS ± 84.032 HA (DELAPAN PULUH EMPAT RIBU TIGA PULUH DUA HEKTARE) DAN PENUNJUKAN BUKAN KAWASAN HUTAN MENJADI KAWASAN HUTAN SELUAS ± 1.838 HA (SERIBU DELAPAN RATUS TIGA PULUH DELAPAN HEKTARE) DI PROVINSI SULAWESI SELATAN. 

 

  1. Bahwa terkait dengan penguasaan fisik objek tanah tersebut yang dikuasai PEMOHON untuk membangun fasilitas objek wisata religi yang diberi nama bukit doa, awal penguasaanya sudah berlangsung sejak dari tahun 1930 sampai sekarang dengan cara penguasaan fisik secara turun temurun, bahkan tepatnya diatas objek tanah tersebut merupakan tempat penguburan nenek moyang dan orang tua para ahli waris dari Ne’ Riman Tandibua’, dan pada tanggal 25 Juni 2021 diserahkanlah objek tersebut kepada PEMOHON dari para ahli waris Ne’ Riman Tandibua’ hingga saat ini.

 

  1. Bahwa penguasaan tanah dalam kawasan hutan oleh Pemohon telah memenuhi ketentuan SURAT KEPUTUSAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BERDASARKAN SK. 362/MENLHK/SETJEN/PLA.0/5/2019 sehingga SURAT KEPUTUSAN tersebut telah memenuhi syarat untuk dikeluarkannya dari kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan.

 

  1. Bahwa keluarga besar Ne’ Riman Tandibua’ menyerahkan objek tanah tersebut kepada PEMOHON oleh karena tujuannya baik untuk membangun objek wisata religi yang diberi nama wisata rohani bukit doa dimana pembangunan tersebut tentunya akan berdampak positif bagi masyarakat Toraja pada umumnya, khususnya masyarakat Toraja Utara dalam rangka meningkatkan pendapatan anggaran daerah dan juga akan berdampak positif untuk menunjang atau mengangkat taraf hidup ekonomi masyarakat adat yang bermukim dan tinggal diarea sekitar pembangunan objek wisata milik PEMOHON. 

 

  1. Bahwa keberadaan objek wisata milik PEMOHON telah mendapat dukungan dari Bupati Toraja Utara, Persekutuan Gereja Indonesia dan masyarakat baik yang bermukim disekitar pembangunan objek wisata maupun diluar objek wisata.

 

  1. Bahwa pada hari Jumat, tanggal 20 Mei 2022 terkait dengan kunjungan kerja daerah pemilihan (KUNDAPIL) anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan di daerah terkait dengan permasalahan hutan lindung Pongtorra, mengenai surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait dengan SK. 362/MENLHK/SETJEN/PLA.0/5/2019 tentang PERUBAHAN PERUNTUKAN KAWASAN HUTAN MENJADI BUKAN KAWASAN HUTAN SELUAS ± 91.337 HA (SEMBILAN PULUH SATU RIBU TIGA RATUS TIGA PULUH TUJUH HEKTARE) PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN SELUAS ± 84.032 HA (DELAPAN PULUH EMPAT RIBU TIGA PULUH DUA HEKTARE) DAN PENUNJUKAN BUKAN KAWASAN HUTAN MENJADI KAWASAN HUTAN SELUAS ± 1.838 HA (SERIBU DELAPAN RATUS TIGA PULUH DELAPAN HEKTARE) DI PROVINSI SULAWESI SELATAN. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Mei 2019 dengan dihadiri Bupati Toraja Utara dan Wakil Bupati Toraja Utara, Camat, Kepala KPH Saddang II, Perwakilan ASN, Tokoh Masyarakat/adat, Tokoh Agama, Tokoh Perempuan dan Tokoh Agama.

 

  1. Bahwa pada kunjungan kerja daerah tersebut terkait dengan keahadiran SK. 362/MENLHK/SETJEN/PLA.0/5/2019 dapat diperoleh data atas keterangan yang disampaikan KEPALA KPH SADDANG II (BAPAK GAZALI D. ICHSAN) yang menerangkan:
  1. terkait penetapan tapal batas kawasan hutan dalam hal ini BPKH Wilayah VII Makassar yang menentukan, penetapan seluas 22 Ha (dua puluh dua hektare) yang dibebaskan berdasrkan SK Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 362 tentang perubahan kawasan hutan menjadi BUKAN kawasan hutan masih terdapat perumahan masyarakat, fasilitas umum dan MEMANG sampai saat ini BELUM dilakukan tapal batas dilokasi yang rencananya akan dilaksanakan pada bulan Juli 2022.
  2. Apabila ada fasilitas umum yang berada bersinggungan dengan tapal batas maka bisa in, biasa out.

 

  1. Akan berkoordinasi dan memberikan laporan khusus kepada pihak BPKH wilayah VII Makassar tentang masalah ini.

 

  1. Bahwa terkait dengan kunjungan kerja daerah pemilihan PEMOHON tersebut juga telah disambut baik oleh Bupati dan Wakil Bupati Toraja Utara dengan segera menindaklanjuti dengan surat permohonan audience kepada Kepala Dines Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan tertanggal 31 Mei 2022 untuk menyelesaikan permasalahan kawasan hutan Pongtorra yang didalamnya sudah terdapat fasilitas umum seperti kantor camat kapala pitu, gereja, tongkonan dan puluhan rumah masyarakat termasuk bangunan objek wisata milik PEMOHON.

  

  1. Bahwa terkait dengan data BELUM dilakukan Pentapalan/Pemetaan Kawasan hutan terhadap SK. 362/MENLHK/SETJEN/PLA.0/5/2019 atas objek kawasan hutan Pongtorra’ yang didalamnya terdapat bangunan wisata bukit doa milik PEMOHON TELAH dibenarkan oleh KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN, fakta hukum tersebut diperoleh pada saat PEMOHON dari Komisi B bersama team melaksanakan kunjungan kerja luar daerah di Kantor Direktorat Jenderal Planalogi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta pada tanggal 14 sampai dengan 16 Juli 2022, diperoleh fakta hukum yang menyatakan “untuk SK dengan Nomor 362 dari kementerian lingkungan hidup dan kehutanan tentang perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan di hutan Pongtorra’ kabupaten toraja utara dimana rumah/pemukiman masyarakat yang ada dibatas secara digitalisasi saat ini akan dikeluarkan pada saat penetapan dilapangan oleh panitia tata batas termasuk lokasi/rumah Bapak Jufri Sambara., S.Sos., MM apalagi kalau ada bukti telah dikuasai berpuluh tahun”.

 

  1. Bahwa penetapan tersangka yang dilakukan oleh TERMOHON kepada diri PEMOHON secara yuridis telah memenuhi kecacatan hukum dengan  menggunakan data lama yang diberikan BPKH (Balai Pemantapan Kawasan Hutan) wilayah VII Makassar, berdasarkan penataan batas berita acara tata batas (BATB) tanggal 27 Maret 1985 yang ditetapkan berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK. 4817/Menhut-VII/KUH/2014 tertanggal 30 Juni 2014.

 

  1. Bahwa TERMOHON dilapor oleh Direktur organisasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang berkedudukan kantor di Makassar berdasarkan laporan polisi Nomor: LP/B/242/III/2022/SPKT/POLDA SULSEL, tanggal 11 Maret 2022, sehingga dengan mengacu kepada penerapan asas hukum non-retroaktif atau Undang- Undang tidak boleh berlaku surut sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP yang menyatakan bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya. Oleh karena itu seharusnya penetapan Tersangka kepada PEMOHON tidak tepat jika menggunakan SK. 4817/Menhut-VII/KUH/2014 tertanggal 30 Juni 2014 melainkan harus berpedoman terhadap SK. 362/MENLHK/SETJEN/PLA.0/5/2019  tertanggal 28 Mei 2019.

 

  1. Bahwa berdasarkan laporan polisi tersebut TERMOHON sama sekali tidak jeli dan terkesan memaksakan kehendak untuk mengubah status PEMOHON menjadi tersangka, dengan berdasar atau menggunakan data lama dan mengesampingkan data baru padahal perwujudan kehadiran Negara untuk melindungi PEMOHON dan masyarakat adat lainnya dengan melahirkan produk Hukum berupa Keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan SK. 362/MENLHK/SETJEN/PLA.0/5/2019, tanggal 28 Mei 2019 yang telah menguasai, menggarap menikmati hasil bumi bahkan telah mendiami kawasan tersebut sampai berpuluh-puluh tahun sehingga tidak dapat dibebani pertanggungjawaban secara pidana seperti yang dialami PEMOHON.

 

  1. Bahwa Laporan Polisi Nomor:  LP/B/242/III/2022/SPKT/POLDA SULSEL, tanggal 11 maret 2022 dimana TERMOHON hanya membutuhkan waktu hanya 3 (tiga) hari saja dalam peneriman laporan dan dihari ketiga menaikkan status penyelidikan menjadi penyidikan sebagaimana Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP-Sidik/27.a/III/2022/Ditreskrimsus, tanggal  14 Maret 2022. Hal ini semakin memperjelas ketidakjelasan cara penyelidikan maupun penyidikan yang dilakukan TERMOHON, dan terkesan tergesah gesah untuk mengumpulkan alat bukti untuk menemukan dan mengambil kesimpulan apakah ada perbuatan pidananya atau tidak seperti yang dialami PEMOHON atas penetapan tersangka yang tidak didukung oleh alat bukti outentik untuk menjeratnya sehingga perbuatan yang dilakukan TERMOHON jelas anprosedural.

 

  1. Bahwa hal tersebut sangat jelas merupakan suatu tindakan yang melawan ketentuan hukum, tidak memenuhi penalaran hukum (legal logic) dan tidak berdasar atas hukum karena Penetapan PEMOHON sebagai Tersangka dilakukan terlalu dini tanpa terlebih dahulu melalui serangkaian tindakan untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang suatu tindak Pidana yang terjadi dan guna menemukan Tersangkanya.

 

  1. Bahwa oleh karena jelas dan terang berdasarkan fakta dan alat bukti yang diperoleh diatas objek yang saat ini dikuasai oleh PEMOHON maka dengan segala kerendahan hati PEMOHON memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Makale Cq. Hakim Tunggal Praperadilan yang mulia yang memeriksa perkara ini untuk mengabulkan Permohonan Praperadilan oleh PEMOHON.

         

Berdasarkan segala hal yang terurai tersebut di atas, dengan ini kami PEMOHON memohon dengan hormat kiranya yang mulia Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Makale yang memeriksa dan mengadili perkara ini, berkenaan memutus:

  1. Mengabulkan permohonan praperadilan PEMOHON  seluruhnya.

 

  1. Menyatakan surat perintah penyidikan Nomor: SP-Sidik/27.a/III/2022/Ditreskrimsus, tanggal  11 Maret 2022 SERTA Surat Penggilan Nomor: S.Pgl/858/VIII/2022/Ditreskrimsus, tanggal 1 Agustus 2022 yang menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka oleh TERMOHON terkait peristiwa pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2) Jo Pasal 50 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Pasal 36 angka 19 Jo angka 17 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020, adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum dan oleh karenanya Penetapan a quo tidak mempunyai kekuatan mengikat.

 

  1. Menyatakan penyidikan yang dilakukan oleh TERMOHON terkait peristiwa pidana sebagaimana dimaksud dalam Penetapan Tersangka terhadap diri PEMOHON sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2) Jo Pasal 50 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Pasal 36 angka 19 Jo angka 17 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020, adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum dan oleh karenanya Penyidikan a quo tidak mempunyai kekuatan mengikat.   

 

  1. Menyatakan Penetapan Tersangka atas diri PEMOHON yang dilakukan TERMOHON, adalah tidak sah;

 

  1. Menyatakan proses hukum atas perkara berdasarkan laporan polisi Nomor: LP/B/242/III/2022/SPKT/POLDA SULSEL, tanggal 11 Maret 2022 tersebut di atas harus dihentikan.

 

  1. Membebankan biaya perkara menurut hukum.
Pihak Dipublikasikan Ya