Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI MAKALE
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2019/PN Mak KARMAN LODA Kejaksaan Negeri Tana Toraja Minutasi
Tanggal Pendaftaran Kamis, 13 Jun. 2019
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2019/PN Mak
Tanggal Surat Kamis, 13 Jun. 2019
Nomor Surat 00000000
Pemohon
NoNama
1KARMAN LODA
Termohon
NoNama
1Kejaksaan Negeri Tana Toraja
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Dengan segala hormat,

Kami yang bertandatangan dibawah ini Frans Lading, S.H., M.H., Albertus Luter, S.H. CTL., Yohanis Kundang, S.H., M.H., Liman Manalu, S.H., Ady Ely Saputra Sibuea, S.H., Tunggul Tobing, S.H., Imam Furqan, S.H., dan Lamhot Ryki Butar butar, S.H., Para Advokat dan Konsultan Hukum yang berkantor pada kantor Advokat Plural Law Firm yang beralamat di Jalan Utan Kayu Raya No. 86A, Matraman, Jakarta Timur, mewakili kepentingan hukum KARMAN LODA, beralamat di Desa/Lembang Bau, Kecamatan Bonggakaradeng, Kabupaten Tana Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan.  Berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor: 0164/PLF-AL/KL/PRA/VI/2019, tertanggal 03 Juni 2019, selanjutnya disebut sebagai ........................................................ PEMOHON; 

Dengan ini PEMOHON mengajukan Permohonan Pemeriksaan Praperadilan sehubungan dengan tidak sahnya Penetapan Tersangka dan Penahanan kepada Pemberi Kuasa oleh Kepala Kejaksaan Negeri Tana Toraja berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Tana Toraja No. Print-02/R.4.26/Fd.1/05/2019, Tanggal 22 Mei 2019 jo. Surat Perintah Penahanan Nomor: Print-588/R.4.26/Fd.1/05/2019, tertanggal 24 Mei 2019. Untuk selanjutnya disebut sebagai.......................................................................................................TERMOHON; 

Adapun dasar hukum, fakta-fakta dan alasan-alasan hukum PEMOHON dalam mengajukan PERMOHONAN PRAPERADILAN ini adalah sebagai berikut:

DASAR HUKUM (LEGAL STANDING) PERMOHONAN PRAPERADILAN  

  1. Bahwa Pasal 77 huruf (a) KUHAP menyebutkan “Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang : sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan”;
  2. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No.21/PUU-XII.2014 pada amar putusannya pada angka 1,3 menyatakan “Pasal 77 huruf a Undang Undang No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 No.76,Tambahan Lembaran Negara N0.3209 ) bertentangan dengan UU Dasar 1945, sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan”;
  3. Bahwa selanjutnya dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 4 Tahun 2016 pada BAB II Pasal 2 ayat (1) huruf (a) menyebutkan “Obyek Praperadilan adalah: sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penuntutan, penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan”;
  4. Bahwa berdasarkan ketentuan pasal 77 huruf (a) KUHAP jo. Putusan Mahkamah Konstitusi No.21/PUU-XII.2014 jo. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 4 Tahun 2016 maka jelas PENETAPAN TERSANGKA dan PENAHANAN merupakan Objek dari Praperadilan;
  5. Bahwa berdasarkan ketentuan pasal 79 KUHAP menyebutkan “Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh Tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya”;
  6. Bahwa TERMOHON telah menetapkan PEMOHON menjadi TERSANGKA berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Tana Toraja No. Print-02/R.4.26/Fd.1/05/2019, Tanggal 22 Mei 2019 dan TERMOHON juga telah melakukan PENAHANAN terhadap PEMOHON berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor: Print-588/R.4.26/Fd.1/05/2019, tertanggal 24 Mei 2019 sehingga PEMOHON jelas memiliki Dasar Hukum (Legal Standing) dalam mengajukan Permohonan Praperadilan;
  7. Bahwa dikarenakan TERMOHON yang telah menetapkan PEMOHON sebagai TERSANGKA dan telah melakukan PENAHANAN  terhadap PEMOHON berdomisili di wilayah hukum Pengadilan Negeri Makale maka PEMOHON mengajukan Permohonan Praperadilan a quo ke Pengadilan Negeri Makale disertai dengan alasan-asalan hukum dan alat bukti yang sah menurut hukum acara yang diatur dalam pasal 184 KUHAP;

KASUS POSISI DARI PEMOHON 

  1. Bahwa sebelum PEMOHON menguraikan alasan-alasan diajukannya Permohonan Praperadilan a quo, terlebih dahulu PEMOHON akan menguraikan Kronologis dari Perkara a quo, agar menjadi terang benderang apakah PEMOHON layak ditetapkan sebagai TERSANGKA dan DITAHAN oleh TERMOHON;
  2. Bahwa PEMOHON adalah Kepala Desa (Kepala Lembang) Bau yang menjabat sejak tahun 2015, dimana Lembang Bau merupakan salah satu desa di Kecamatan Bonggakaradeng, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, jabatan tersebut jelas merupakan suatu prestasi yang luar biasa bagi PEMOHON sendiri dikarenakan pada usianya yang masih muda (PEMOHON saat ini berusia 29 Tahun) dapat dipercaya oleh masyarakat untuk membangun tanah leluhurnya yang juga merupakan desa tempat kelahirannya;
  3. Bahwa salah satu program yang dicita-citakan oleh warga Lembang Bau adalah tersedianya Listrik untuk menunjang sarana dan prasarana dari masyarakat lembang Bau, PEMOHON selaku kepala desa dengan dibantu oleh Bapak Daniel Ta’dung melakukan musyawarah untuk pembahasan usulan Rencana Kerja Pemerintah Lembang (RKPL) pada bulan November 2016;
  4. Bahwa salah satu usulan dalam musyawarah RKPL pada bulan November 2016 tersebut adalah usulan tentang pembangunan listrik yang dapat memanfaatkan tenaga air di Lembang Bau, terhadap usulan tersebut forum RKPL menyetujui dan ditetapkan sebagai skala prioritas pada anggaran tahun 2017;
  5. Bahwa dalam forum musyawarah RKPL tersebut juga disepakati bahwa nama dari Proyek tersebut adalah “Pembangunan PLTMH Bulung Lembang Bau” dimana apabila hasil survey teknis ternyata akan membutuhkan dana yang cukup besar maka akan dikerjakan secara BERTAHAP, yakni pembangunan tahap pertama menggunakan anggaran tahun 2017 dan  tahap pembangunan selanjutnya akan menggunakan anggaran pada tahun 2018;
  6. Bahwa adapun tujuan dari “Pembangunan PLTMH Bulung Lembang Bau” yang digagas PEMOHON, Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) dan tentunya  masyarakatnya lembang Bau yakni:
  7. Dengan terbangunnya “Pembangunan PLTMH Bulung Lembang Bau” akan digunakan untuk kebutuhan listrik masyarakat Lembang Bau bahkan rencananya akan dimitrakan dengan Perusahaan Listrik Negara (PLN) terkait dengan pengelolaan Daya dan Tegangan Listrik yang ada;
  8. Limpahan dari air Turbin akan dimanfaatkan untuk pengairan persawahan dan juga rencananya akan dimanfaatkan sebagai wisata kolam renang alam di Lembang Bau yang juga merupakan salah satu destinasi Parawisata yang ada di Tana Toraja;
  9. Bahwa setelah RKPL dilaksanakan maka selanjutnya dilakukanlah survey teknis oleh Tim Pelaksana Kegiatan (TPK), PEMOHON bersama dengan TPK meminta bantuan kepada TAUFAN RINTO MANGALIK yang merupakan sahabat PEMOHON yang memiliki pengetahuan dan keahlian terkait dengan proyek a quo yang juga telah ditetapkan TERSANGKA dan DITAHAN oleh TERMOHON dalam perkara a quo, dimana TAUFAN RINTO MANGALIK juga masuk dalam Tim TPK;
  10. Bahwa setelah dilakukan survey maka dibuatlah Rancangan Anggaran Biaya (RAB) dan berdasarkan RAB tersebut sesuai dengan perkiraan dalam forum Musyawarah RKPL pada bulan November 2016 dimana proyek Pembangunan PLTMH Bulung Lembang Bau” harus dilaksanakan SECARA BERTAHAP dikarenakan anggaran 2017 tidak akan mencukupi;
  11. Bahwa anggaran tahun 2017 hanya cukup untuk Pengadaan Pipa Induk, Intake dan Kolam Penenang, sedangkan untuk pekerjaan sipil lainnya harus menunggu anggaran tahun 2018 dan Pelaksanaan anggaran 2017 tersebut telah dilaksanakan meskipun hasilnya belum dapat dimanfaatkan dan dinikmati oleh masyarakat Lembang Bau;
  12. Bahwa untuk melanjutkan “Pembangunan PLTMH Bulung Lembang Bau” pada tahun 2018 dianggarkan dana Desa sebesar RP. 450.024.500.- (empat ratus lima puluh juta dua puluh empat ribu lima ratus rupiah) untuk Pengadaan Mesin dan Elektrikalnya serta biaya pengangkutan dan biaya teknisi;
  13. Bahwa terkait dengan pengadaan mesin Turbin, PEMOHON membuat Perjanjian dengan TAUFAN RINTO MANGALIK yakni SURAT PERJANJIAN KONTRAK No. 37/SPK/LB/VII/2018, Tanggal 03 Juli 2018;
  14. Bahwa TAUFAN RINTO MANGALIK selaku TPK yang ditugaskan untuk mengurus mesin bekerjasama dengan CV. CIHANJUANG INTI TEKNIK yang beralamat di Cimahi, Bandung, dimana barang yang dipesan oleh TAUFAN RINTO MANGALIK yakni Mesin Turbin, Generator, Pully Generator, Plat Belt GT20, Generator Stanford 15 KVA dan Alat Pendukung seperti Kunci-kunci, nozel, Flange Paralon dan alat-alat pendukung lainnya telah dikirim dari Cimahi pada tanggal 14 Mei 2018 dan tiba di Makassar pada tanggal 18 Mei 2019 dan langsung dibawa ke Kabupaten Tana Toraja, dan pada tanggal 20 Mei 2018 Mesin Turbin telah tiba di Lembang Bau dan siap untuk dipasang dan dipergunakan oleh masyarakat;
  15. Bahwa meskipun terjadi keterlambatan terkait pengadaan Mesin Turbin hal tersebut disebabkan oleh kendala teknis namun pada prinsipnya Mesin tersebut telah dibeli dan pada saat ini telah berada di Lembang Bau artinya Proyek tersebut tidak fiktif dan jelas anggaran desa pada tahun 2017 dan tahun 2018 terserap dengan baik meskipun terdapat kendala teknis hal tersebut dikarenakan kondisi Lembang Bau yang terisolir dan mesin yang memang membutuhkan sentuhan teknisi yang tepat;
  16. Bahwa dengan sampainya mesin Turbin di Lembang Bau pada tanggal 20 Mei 2019 artinya mimpi masyarakat Lembang Bau dan PEMOHON sebagaimana Rencana Kerja Pemerintah Lembang (RKPL) pada bulan November 2016 untuk mewujudkan “Pembangunan PLTMH Bulung Lembang Bau” sebentar lagi akan segera TERWUJUD dan hasilnya akan dinikmati oleh seluruh masyarakat Lembang Bau;
  17. Bahwa kerja keras PEMOHON bersama dengan sahabatnya TAUFAN RINTO MANGALIK dan Tim TPK lainnya serta seluruh masyarakat Lembang Bau untuk mewujudkan “Pembangunan PLTMH Bulung Lembang Bau” yang merupakan cita-cita dari masyarakat Lembang Bau justru ditanggapi berbeda oleh Kepala Kejaksaan Tana Toraja (In Casu TERMOHON) yang menyatakan PEMOHON  patut diduga telah melakukan TINDAK PIDANA KORUPSI dalam “Pembangunan PLTMH Bulung Lembang Bau” dan atas dugaan tersebut PEMOHON dan sahabatnya TAUFAN RINTO MANGALIK ditetapkan sebagai TERSANGKA dan sejak tanggal 24 Mei 2019 sampai dengan  saat ini PEMOHON ditahan di Rumah Tahanan Kelas II Makale, Tana Toraja;
  18. Bahwa tindakan TERMOHON yang melakukan penahanan terhadap TAUFAN RINTO MANGALIK sebagai TPK yang memiliki keahlian untuk memasang mesin turbin tersebut membuat proyek “Pembangunan PLTMH Bulung Lembang Bau” menjadi tertunda dikarenakan TPK yang mengerti dan memiliki keahlian untuk memasang dan mengoperasikan mesin turbin tersebut hanyalah TAUFAN RINTO MANGALIK dan hal tersebut jelas merugikan masyarakat Lembang Bau;       
  19. Bahwa PENETAPAN TERSANGKA dan PENAHANAN TERHADAP PEMOHON dengan sangkaan bahwa PEMOHON diduga telah melakukan TINDAK PIDANA KORUPSI dilakukan oleh TERMOHON TANPA ADANYA AUDIT YANG SAH dari Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan (BPKP) dan/atau Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai pihak yang memiliki kewenangan untuk menyatakan adanya kerugian Negara yang merupakan unsur terpenting dalam pasal yang disangkakan oleh Kepala Kejaksaan Negeri Tana Toraja;
  20. Bahwa untuk menguji secara formil apakah Penetapan Tersangka dan Penahanan terhadap diri PEMOHON telah dilaksanakan sesuai dengan Hukum acara yang berlaku di Negara Hukum Republik Indonesia maka PEMOHON mengajukan Permohonan Praperadilan ke Pengadilan Negeri Makale;

ALASAN-ALASAN PEMOHON MENGAJUKAN PERMOHONAN PRAPERADILAN TERHADAP TERMOHON 

  1. PENYIDIKAN YANG DILAKUKAN OLEH TERMOHON CACAT FORMIL DIKARENAKAN BELUM DITEMUKAN ADANYA KERUGIAN NEGARA
  2. Bahwa berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Tana Toraja No. Print-02/R.4.26/Fd.1/05/2019, Tanggal 22 Mei 2019 jo. Surat Perintah Penahanan Nomor: Print-588/R.4.26/Fd.1/05/2019, tertanggal 24 Mei 2019, TERMOHON menetapkan PEMOHON sebagai tersangka dengan sangkaan Pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor);
  3. Bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU Tipikor yang disangkakan oleh TERMOHON kepada PEMOHON telah mengalami perubahan yang sangat subtansi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 25/PUU-XIV/2016, tanggal 25 Januari 2017 yang amar putusannya pada angka 2 (dua) PEMOHON kutip secara lengkap sebagai berikut:

Menyatakan kata dapat dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah dengan undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”; (vide putusan halaman 116)

  1. Bahwa salah satu pertimbangan hukum yang termuat dalam putusan pada halaman 112 paragraf 3.10.4, Mahkamah memberikan pertimbangan sebagai berikut: Bahwa dengan keberadaan UU Administrasi Pemerintahan dikaitkan dengan kata “dapat” dalam pasal 2 ayat (1) dan ayat (3) UU Tipikor menurut Mahkamah menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma penerapan unsur merugikan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi. .....” selanjutnya Mahkamah juga mempertimbangkan ..... Dengan demikian bila dikaitkan pasal 2 ayat (1) dan ayat (3) UU Tipikor, maka penerapan unsur merugikan keuangan negara telah bergeser dengan menitikberatkan pada adanya akibat, tidak lagi hanya perbuatan dan pada akhir paragraf Mahkamah menegaskan pertimbangannya ..... Berdasarkan hal tersebut menurut Mahkamah unsur merugikan keuangan negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss) namun harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss) untuk dapat diterapkan dalam tindak pidana korupsi;
  2. Bahwa terkait dengan dibatalkannya kata dapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU Tipikor maka konsekuensi hukumnya adalah kerugian negara harus ada terlebih dahulu sebelum Penyidik melakukan Penyidikan dengan menggunakan Pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU Tipikor, dengan dibatalkannya kata dapat tersebut, juga mempertegas bahwa kerugian negara yang disyaratkan dalam Pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU Tipikor adalah kerugian negara yang nyata (actual loss) berdasarkan hasil perhitungan instansi yang memiliki kewenangan, Penyidik tidak dapat lagi mempergunakan perkiraan kerugian negara (potential loss) untuk memulai melakukan Penyidikan khusus untuk Pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU Tipikor sebelum adanya hasil audit tentang kerugian negara yang nyata (actual loss);
  3. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 25/PUU-XIV/2016 juga sejalan dengan ketentuan pasal 1 angka 22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara dan Pasal 1 angka 15 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan yang telah mendefenisikan kerugian negara dengan pengertian yang sama, yakni kerugian negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai;
  4. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 25/PUU-XIV/2016 juga sejalan dengan Penjelasan pasal 32 ayat (1) UU Tipikor yang secara tegas menyebutkan: “yang dimaksud dengan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara adalah kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk;
  5. Bahwa terkait dengan lembaga yang dapat melakukan perhitungan kerugian negara jelas adalah Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan (BPKP) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor: 192 Tahun 2014 tentang BPKP dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang BPK yang juga dipertegas oleh Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tanggal 9 Desember 2016;
  6. Bahwa sepanjang pemeriksaan PEMOHON sebagai Tersangka baik pada Pemeriksaan tanggal 24 Mei 2019 maupun pemeriksaan pada tanggal 28 Mei 2019 tidak sekalipun TERMOHON menunjukkan adanya hasil audit dari BPKP maupun BPK ataupun dari Inspektorat Kabupaten Tana Toraja artinya belum ada kerugian negara yang telah dihitung secara nyata (actual loss) dalam proyek “Pembangunan PLTMH Bulung Lembang Bau” sehingga proses penyidikan dengan memakai pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU Tipikor, harusnya belum dapat dilakukan Penyidikan oleh TERMOHON, Penyidik (in casu TERMOHON) wajib meminta terlebih dahulu audit kepada BPKP dan/atau BPK yang menyatakan secara nyata adanya kerugian negara dalam proyek Pembangunan PLTMH Bulung Lembang Bau”;
  7. Bahwa terkait dengan belum adanya audit dari pejabat dan/atau instansi yang berwenang juga terbukti dari keterangan TERMOHON sendiri pada tanggal 24 Mei 2019 dalam keterangannya  kepada media menyampaikan bahwa Kerugian Negara dalam perkara “Pembangunan PLTMH Bulung Lembang Bau” adalah sebesar TOTAL LOSS (KERUGIAN TOTAL), TERMOHON juga menyampaikan bahwa Tim Penyidik dari Pihak TERMOHON bersama dengan Tim Audit Inspektorat Kabupaten Tana Toraja telah melihat langsung proyek “Pembangunan PLTMH Bulung Lembang Bau” dan proses perhitungan kerugian negara masih sementara dihitung oleh Tim Audit Inspektorat Kabupaten Tana Toraja;
  8. Bahwa terkait dengan keterangan TERMOHON yang menyatakan kerugian negara dalam perkara “Pembangunan PLTMH Bulung Lembang Bau” adalah sebesar TOTAL LOSS (KERUGIAN TOTAL) mempertegas bahwa belum ada hasil audit yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang sehingga TERMOHON menetapkan kerugian negara dengan menghitung total anggaran yang dibahasakan oleh TERMOHON sebagai TOTAL LOSS (KERUGIAN TOTAL), bahwa pada faktanya Proyek “Pembangunan PLTMH Bulung Lembang Bau” benar-benar dilaksanakan dan dikerjakan oleh TPK bahkan andaikata Tim ahli tidak ditahan oleh TERMOHON harusnya mesin turbin telah dinikmati oleh masyarakat Lembang Bau artinya keterangan TERMOHON tentang kerugian negara sebesar TOTAL LOSS (KERUGIAN TOTAL) adalah bersifat Perkiraan (potential loss);
  9. Bahwa keterangan TERMOHON yang menyatakan bahwa proses perhitungan kerugian negara masih sementara dihitung oleh Tim Audit Inspektorat Kabupaten Tana Toraja semakin mempertegas bahwa  “BELUM ADA AUDIT” yang secara nyata (actual loss) yang menyatakan adanya kerugian negara dalam proyek “Pembangunan PLTMH Bulung Lembang Bau”;
  10. Bahwa pada intinya TERMOHON telah melakukan Penyidikan dan menetapkan PEMOHON sebagai TERSANGKA dengan memakai ketentuan pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU Tipikor padahal belum ada temuan kerugian negara yang nyata (actual loss) terkait penggunaan dana desa tahun anggaran 2017 dan 2018 dalam proyek “Pembangunan PLTMH Bulung Lembang Bau” di Lembang Bau;
  11. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 25/PUU-XIV/2016 jo. ketentuan pasal 1 angka 22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara jo. Pasal 1 angka 15 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan jo. Penjelasan pasal 32 ayat (1) UU Tipikor dan dikaitkan dengan fakta belum adanya kerugian negara yang nyata (actual loss) dalam proyek “Pembangunan PLTMH Bulung Lembang Bau” demi kepastian hukum proses penyidikan yang dilakukan oleh TERMOHON haruslah dinyatakan  tidak sah, tidak sesuai dengan hukum oleh karenanya batal demi hukum;
  12. TERMOHON MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA TIDAK BERDASARKAN ATAS ALAT BUKTI YANG SAH MENURUT KUHAP
  13. Bahwa TERMOHON dalam posisinya selaku Penyidik wajib hukumnya tunduk pada ketentuan hukum acara yang diatur di dalam KUHAP, dimana KUHAP sendiri mewajibkan TERMOHON dalam hal Penetapan Tersangka WAJIB berdasarkan “Bukti Permulaan Yang Cukup”; (vide pasal 1 angka 17 dan pasal 17 KUHAP jo. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014);
  14. Bahwa berdasarkan amar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 jelas menyebutkan bahwa “bukti permulaan yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam pasal 184 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Bahwa pasal 184 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana menyebutkan; Alat Bukti yang Sah ialah:
  • Keterangan Saksi;
  • Keterangan Ahli;
  • Surat;
  • Petunjuk;
  • Keterangan Terdakwa;
  1. Bahwa Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 4 Tahun 2016 pada BAB II Pasal 2 ayat (2) tegas menyebutkan “Pemeriksaan Praperadilan terhadap Permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka hanya menilai aspek formil, yaitu apakah ada paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang sah dan tidak memasuki materi perkara”;
  2. Bahwa bukti-bukti transaksi keuangan desa Lembang Bau khususnya terkait dengan proyek “Pembangunan PLTMH Bulung Lembang Bau” yang disita dan dipakai oleh TERMOHON sebagai alat bukti dalam penyidikan dan dipakai sebagai alat bukti untuk menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka jelas tidak dapat dikatakan sebagai salah satu alat bukti sah menurut ketentuan pasal 184 KUHAP, Baik sebagai alat bukti Surat maupun Petunjuk dikarenakan bukti-bukti transaksi tersebut sepanjang belum adanya temuan kerugian negara oleh instansi yang berwenang haruslah dipandang sebagai transaksi yang sah secara hukum dan  dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan yakni Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa jo. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 20 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa;  
  3. Bahwa TERMOHON menyangkakan Pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU Tipikor dimana unsur utama dalam kedua pasal tersebut adalah adanya Perbuatan “Merugikan Keuangan Negara” dan Bukti Utama yang wajib dimiliki oleh TERMOHON sebelum melakukan penyidikan adalah adanya hasil audit yang menunjukkan adanya kerugian negara secara nyata (actual loss),  hal tersebut dikarenakan kata “dapat” yang ada dalam kedua pasal tersebut telah dibatalkan dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi artinya TERMOHON dalam melakukan penyidikan harus memiliki alat bukti adanya audit yang menunjukkan adanya kerugian negara baik oleh BPKP maupun oleh BPK;  
  4. Bahwa dikarenakan TERMOHON tidak memiliki alat bukti hasil audit yang dikeluarkan oleh auditor negara yang berwenang maka jelas TERMOHON tidak dapat secara sepihak memakai dokumen-dokumen terkait dengan transaksi proyek “Pembangunan PLTMH Bulung Lembang Bau” sebagai alat bukti, baik transaksi anggaran pada tahun 2017 maupun transaksi pada tahun 2018 dan TERMOHON juga belum dapat memakai keterangan saksi-saksi sebagai salah satu alat bukti yang sah dikarenakan belum ditemukan adanya kerugian negara sehingga seluruh transaksi dan dokumen-dokumen terkait dengan proyek Pembangunan PLTMH Bulung Lembang Bau”  secara hukum haruslah dipandang sebagai suatu proses yang sesuai dengan hukum dimana PEMOHON selaku Kepala desa jelas memiliki kewenangan untuk melaksanakan pembangunan di desanya dengan memakai dana desa sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa jo. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 20 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa;
  5. Bahwa dikarenakan TERMOHON telah menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka tanpa adanya alat bukti yang cukup menurut KUHAP maka sangatlah beralasan secara hukum apabila Penetapan TERSANGKA terhadap diri PEMOHON dinyatakan tidak berdasarkan atas hukum oleh karenanya batal demi hukum;
  6. Bahwa dikarenakan proses penetapan TERSANGKA atas diri PEMOHON telah dinyatakan tidak berdasarkan atas hukum dan batal demi hukum maka sudah semestinya Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Tana Toraja No. Print-02/R.4.26/Fd.1/05/2019, Tanggal 22 Mei 2019 juga dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum;
  7. Bahwa dikarenakan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Tana Toraja No. Print-02/R.4.26/Fd.1/05/2019, Tanggal 22 Mei 2019 dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum maka sangatlah beralasan secara hukum apabila Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo memerintahkan TERMOHON untuk menghentikan Penyidikan dengan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3);
  8. PROSES PENYIDIKAN YANG DILAKUKAN OLEH TERMOHON TIDAK SESUAI DENGAN CARA YANG DITENTUKAN OLEH KUHAP
  9. Bahwa pasal 1 angka 2 KUHAP menyebutkan  Penyidikan adalah serangkaian tindakan Penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti  yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya;
  10. Bahwa kewenangan TERMOHON untuk melakukan Penyidikan jelas disebutkan dalam pasal 31 ayat (1) huruf (d) Undang-undang  No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang tegas menyebutkan “Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang undang”;
  11. Bahwa TERMOHON baru mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan pada tanggal 22 Mei 2017 namun pada tanggal 23 Mei 2019 TERMOHON telah memanggil PEMOHON untuk diperiksa yang diagendakan pada tanggal 24 Mei 2019, di dalam Surat Panggilan kepada PEMOHON, secara jelas tertulis Status PEMOHON adalah TERSANGKA, artinya PEMOHON telah ditetapkan sebagai Tersangka sebelum dimintai keterangan;
  12. Bahwa Proses Penetapan TERSANGKA terhadap diri PEMOHON tanpa adanya audit kerugian Negara dan tanpa pemeriksaan terlebih dahulu kepada PEMOHON jelas bertentangan dengan pasal 1 angka 2 KUHAP yang mengharuskan TERMOHON untuk untuk mencari serta mengumpulkan bukti  yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana;
  13. Bahwa TERMOHON dalam posisinya selaku Penyidik wajib mengikuti ketentuan pasal 1 angka 2 KUHAP, seharusnya TERMOHON terlebih dahulu mencari bukti yakni meminta audit kepada BPKP dan/atau BPK untuk memastikan adanya unsur Kerugian Negara dalam “Pembangunan PLTMH Bulung Lembang Bau” dan seharusnya TERMOHON terlebih dahulu memeriksa pihak terkait seperti CV. CIHANJUANG INTI TEKNIK untuk membuat terang tindak pidana baru kemudian melakukan ekspose (gelar perkara) dan menetapkan TERSANGKA;
  14. Bahwa Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER-017/A/JA/07/2014 Tentang Perubahan Atas Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-039/A/JA/10/2010 Tentang Tata Kelola Administrasi Dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus jelas mengatur tahapan-tahapan sebelum melakukan penyidikan yakni Rencana Penyelidikan, Penyelidikan, Rencana Penyidikan, Penyidikan, Ekspose Perkara baru kemudian menetapkan Tersangka dan melakukan Penahanan, pada faktanya dalam perkara a quo tahapan-tahapan tersebut diatas tidak dilaksanakan oleh TERMOHON;
  15. Bahwa proses PENETAPAN TERSANGKA yang dilakukan oleh TERMOHON kepada PEMOHON tanpa terlebih dahulu mengumpulkan bukti-bukti jelas dan melakukan tahapan sebagaimana dimaksud dalam  Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER-017/A/JA/07/2014 Tentang Perubahan Atas Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-039/A/JA/10/2010 Tentang Tata Kelola Administrasi Dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus menunjukkan bahwa proses penetapan TERSANGKA tersebut Cacat Formil dikarenakan bertentangan dengan hukum acara yang berlaku sehingga sangatlah beralasan apabila PENETAPAN TERSANGKA tersebut dinyatakan  tidak sah secara hukum oleh karenanya batal demi hukum;
  16. TERMOHON TIDAK PERNAH MENERBITKAN SPDP DAN TIDAK PERNAH MENYERAHKAN DAN MEMBERITAHUKAN SPDP KEPADA PEMOHON
  17. Bahwa TERMOHON dalam perkara a quo adalah Jaksa yang secara kewenangan dapat berposisi sebagai Penuntut Umum dan dapat berposisi sebagai Penyidik, namun Permohonan a qou diajukan oleh PEMOHON terkait dengan Posisi TERMOHON sebagai PENYIDIK yang telah menetapkan PEMOHON sebagai TERSANGKA, tentu saja dilihat dari sudut pandang kewenangan antara Jaksa selaku penyidik dan Jaksa selaku penuntut umum jelas berbeda; 
  18. Bahwa Jaksa selaku Penuntut Umum jelas diatur dalam pasal 1 angka 6 hruf (b) KUHAP yang menyebutkan Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim  sedangkan Jaksa selaku Penyidik tidak diatur dalam KUHAP akan tetapi diatur dalam peraturan perundang-undangan khusus (Lex Spesialis), terkait dengan perkara a quo wewenang Jaksa selaku Penyidik diatur dalam pasal 31 ayat (1) huruf (d) Undang-undang  No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang tegas menyebutkan “Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang undang  perbedaan kewenangan tersebut diatas jelas menunjukkan bahwa antara Jaksa selaku Penuntut Umum jelas berbeda dengan Jaksa selaku Penyidik;
  19. Bahwa dalam posisinya sebagai Penyidik TERMOHON wajib memberitahukan dan menyerahkan surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada penuntut umum apabila telah melakukan proses penyidikan untuk semua perkara tindak pidana yang sedang ditangani oleh TERMOHON hal tersebut jelas diatur dalam pasal 109 ayat (1) KUHAP menyebutkan dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum;
  20. Bahwa ketentuan pasal 109 ayat (1) KUHAP tersebut diatas kemudian mengalami perluasan makna untuk memberikan kepastian hukum melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 130/PUU_XII/2015, tentang uji materiil ketentuan Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Mahkamah Konstitusi dalam amar Putusannya menyatakan “Penyidik Wajib Memberitahukan dan Menyerahkan surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan kepada Penuntut Umum, Terlapor dan Korban/Pelapor dalam waktu paling lambat 7 hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan;
  21. Bahwa berdasarkan ketentuan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 130/PUU_XII/2015 tersebut diatas TERMOHON selaku Penyidik wajib menyerahkan dan memberitahukan SPDP kepada PENUNTUT UMUM, TERLAPOR, DAN KORBAN/PELAPOR dalam waktu paling lambat 7 hari setelah dikeluarkanya surat perintah penyidikan;
  22. Bahwa pada faktanya dalam perkara a quo TERMOHON menerbitkan Surat Perintah Penyidikan pada tanggal 22 Mei 2019 maka selambat-lambatnya pada tanggal 29 Mei 2019 TERMOHON sudah harus menyerahkan dan memberitahukan SPDP kepada Penuntut Umum dan TERMOHON selaku Terlapor/Tersangka dalam perkara a quo, namun pada faktanya sampai dengan saat didaftarkannya Permohonan a quo TERMOHON tidak pernah memberitahukan dan tidak pernah menyerahkan SPDP kepada PEMOHON bahkan TERMOHON tidak pernah membuat SPDP selama melakukan proses penyidikan;
  23. Bahwa dikarenakan terbukti TERMOHON tidak melaksanakan Penyidikan sesuai dengan hukum acara yang berlaku yakni TERMOHON tidak membuat dan menyerahkan SPDP kepada penuntut Umum dan PEMOHON maka berdasarkan ketentuan pasal Pasal 109 ayat (1)  KUHAP jo. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 130/PUU_XII/2015 proses Penyidikan yang dilakukan oleh TERMOHON menjadi cacat formil dan oleh karenya tidak sah dan batal demi hukum;
  24. PENAHANAN YANG DILAKUKAN OLEH TERMOHON TIDAK SESUAI DENGAN KUHAP
  25. Bahwa pasal 1 angka 21 KUHAP menyebutkan “Penahanan adalah penempatan Tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”;
  26. Bahwa TERMOHON dalam posisinya sebagai Penyidik dalam hal melakukan Penahanan berdasarkan pasal 1 angka 21 KUHAP WAJIB tunduk pada ketentuan yang diatur dalam KUHAP;
  27. Bahwa pada faktanya proses PENETAPAN TERSANGKA yang dilakukan oleh TERHOMON tidak berdasarkan atas KUHAP sedangkan dasar dari TERMOHON melakukan penahanan dikarenakan PEMOHON telah berstatus sebagai TERSANGKA;
  28. Bahwa justru dengan penahanan yang dilakukan oleh TERMOHON ditinjau dari aspek “kemanfaatan hukum” akan berpotensi muncul kerugian negara, dikarenakan PEMOHON selaku kepala desa harusnya sedang berada di Lembang Bau untuk mengawasi dan memastikan agar proyek “Pembangunan PLTMH Bulung Lembang Bau”segera rampung dan dimanfaatkan oleh masyarakat lembang Bau dan Proses hukum yang dilakukan oleh TERMOHON jelas akan mengganggu kondisi psikologis para pekerja yang ditunjuk dilapangan dikarenakan adanya unsur “ketakutan” akan dijerat oleh hukum sama dengan nasib PEMOHON;
  29. Bahwa dikarenakan dasar PENAHANAN PEMOHON didasarkan atas PENETAPAN TERSANGKA yang tidak sah berdasarkan atas KUHAP maka demi kepastian hukum PENAHANAN atas diri PEMOHON sangatlah beralasan secara hukum untuk dinyatakan tidak sah dan memerintahkan TERMOHON untuk mengeluarkan PEMOHON dari tahanan;

BAHWA HAK HABEAS CORPUS YAKNI HAK DASAR SESEORANG MELALUI SURAT PERINTAH PENGADILAN MENUNTUT PEJABAT YANG MELAKSANAKAN HUKUM PIDANA FORMIL TERSEBUT AGAR TIDAK MELANGGAR HUKUM ATAU TEGASNYA MELAKSANAKAN HUKUM PIDANA FORMIL TERSEBUT BENAR-BENAR SAH SESUAI DENGAN KETENTUAN HUKUM YANG BERLAKU; 

BAHWA PEMOHON SELAKU PUTRA ASLI LEMBANG BAU TIDAK AKAN MUNGKIN MENGHIANATI LELUHURNYA, ORANG TUANYA, SAUDARA-SUDARANYA, SAHABAT-SAHABATNYA DENGAN MENGAMBIL DAN/ATAU MEMAKAI UNTUK KEPENTINGAN PRIBADI UANG NEGARA YANG DIPERUNTUKKAN UNTUK PEMBANGUNAN DI KAMPUNG KELAHIRANNYA; 

BAHWA SEJALAN DENGAN HAK HABEAS CORPUS  MELALUI FORUM PRAPERADILAN PEMOHON MEMOHON KEPADA HAKIM UNTUK MEMULIHKAN HAK-HAK TERMOHON YANG TELAH DIRAMPAS OLEH TERMOHON DALAM SEKETIKA DIMANA SELURUH MASYARAKAT TANA TORAJA BAHKAN INDONESIA SEOLAH-OLAH DIGIRING UNTUK MENGHUKUM PEMOHON SEBAGAI SEORANG KORUPTOR DENGAN PEMBERITAAN MEDIA YANG SANGAT LUAR BIASA PADAHAL BELUM ADA TEMUAN KERUGIAN NEGARA DAN PROYEK TERSEBUT AKAN SEGERA SELESAI; 

Berdasarkan alasan-alasan yang telah diuraikan diatas, maka dengan ini PEMOHON memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Makale untuk segera diadakan sidang Praperadilan terhadap TERMOHON dan selanjutnya memohon amar putusan sebagai berikut:

MENGADILI:

  1. Mengabulkan Permohonan Praperadilan PEMOHON untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan Penetapan Tersangka yang dilakukan oleh TERMOHON terhadap PEMOHON berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Tana Toraja No. Print-02/R.4.26/Fd.1/05/2019, Tanggal 22 Mei 2019 tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya batal demi hukum;
  3. Menyatakan Penahanan yang dilakukan oleh TERMOHON terhadap PEMOHON berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor: Print-588/R.4.26/Fd.1/05/2019, tertanggal 24 Mei 2019  tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya batal demi hukum;
  4. Memerintahkan TERMOHON untuk menghentikan proses Penyidikan dengan Mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan Mengeluarkan PEMOHON dari Tahanan;
  5. Menghukum TERMOHON untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara a quo:

Atau, Apabila Pengadilan Negeri Makale c.q Hakim Pemeriksa Perkara ini berpendapat lain, maka mohon putusan seadil-adilnya (Ex Aequo et Bono).

Demikian Permohonan Praperadilan ini kami sampaikan, atas dikabulkannya permohonan ini  kami ucapkan terima kasih.

Hormat kami,

Kuasa Hukum PEMOHON

 

Frans Lading, S.H., M.H.                                        Albertus Luter, S.H., CTL.

 

Lukas Palengka, S.H.                                             Liman Manalu, S.H.    

 

Ady Ely Saputra Sibuea, S.H.                               Tunggul Tobing, S.H.

 

Imam Furqan, S.H.                                                  Lamhot Ryki Butar butar, S.H

 

Pihak Dipublikasikan Ya